Labels

Tawassul Bukan Termasuk Syirik



Oleh : Ust. Syahid 

Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ 
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (al-Maidah:35).
Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara do’a untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.
Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT.
Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits shohih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.
Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.
Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ.
أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori).
Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad saw ataupun kepada yang lain (orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada kesholihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang sholih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketaqwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara,(seperti ketika kita sakit kita pergi kedokter,minum obat, jamaah haji berebut menyentuh / memegang hajar aswad,dsb) baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Syaikh Nawawi al-Bantani


Syaikh Nawawi al-Bantani
Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Sejak kecil ia telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-hari menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta, Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Akhirnya, kembalilah ia ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas udzur menjadi Imam, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang.
Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku sehingga tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak, 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) adalah Tafsir Marah Labid, ats-Tsimar al-Yaniah fi ar-Riyadh al-Badi`ah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir al-Munir, Tanqih al-Qoul, Fath al-Majid, Sullam Munajah, Nihayah az-Zein, Salalim al-Fudhala, Bidayah al-Hidayah, al-Ibriz al-Daani, Bugyah al-Awwam, Futuh as-Samad, dan al-Aqdu as-Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, al-Qur`an dan al-Hadist, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Madzhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) muthlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam madzhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal madzhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi sl-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M serta dimakamkan di Ma`la.

SURGA MENANTI WANITA SOLEHAH



Oleh: Umatul Mahmudah

Faktor utama bagi kehidupan manusia adalah rohani. Harumnya rohani akan membuat manusia berdiri tegak dengan segala insting kemanusiaannya. Bertekad menjauhi kemungkaran,menegakkan kebenaran,dan sekaligus selalu berupaya  menuju kepada kesempurnaan manusiawi. Rohani ibarat matahari bagi tubuh. Ketika matahari tidak terhalang awan, akan memancarkan sinar terangnya ke bumi. Demikian pula ketika rohani penuh kesucian, akan menyinari jiwa dengan berbagai keutamaan. Bahkan akan mendatangkan berkah bagi insan beriman dan alam sekitarnya. Sebagai ilustrasi bahwa wanita memiliki kelunakan naluri dan pengaruh besar terhadap anak dan cucunya.
Wanita yang sholehah merupakan penantian surga. Sebab,nantinya wanita sholehah akan manjadi bidadari surga yang sangat cantik. Semua ini harus dititis mulai sejak dini. Salah satu diantara sekian banyak cabang ahlaq mulia adalah menjaga kehormatan. Jika seorang wanita mampu menjaga kehormatan dan harga dirinya, maka ia akan menjadi pujaan bagi setiap lelaki yang sholih. Peran wanita yang sholehah hendaknya mampu mematuhi hadist nabi yang berbunyi,” sebaik-baik istri adalah perempuan yang menyenangkan setiap kali dipandang, taat setiap kamu diperintah, pandai menjaga kehormatan dirimu dan hartamu sewaktu kau pergi ’’ (HR. al-Thabrani).
Untuk manjaga kehormatan diri,seorang wanita sholehah perlu memiliki ahlaqul karimah. Disamping itu juga harus dihiasi dengan perilaku yang mencerminkan keluhuran budi  pekerti,kehalusan bahasa dan menjadi fitrah sebagai wanita. Simak saja di era globalisasi ini, wanita memang paling riskan terhadap godaan. Dimanapun tempatnya terdapat lelaki iseng. Kalau kita tidak berhati-hati dan membentengi diri dengan perilaku solehah, maka mereka tidak akan segan-segan menggodanya. Berbeda wanita yang dihiasi dengan ahlaqul karimah,kemanapun dan dimanapun akan selalu menampakkan identitas wanita muslimah. Maka kaum lelaki akan segan terhadapnya. Ada pepatah mengatakan, ”lelaki yang gemar memandang wanita laksana lalat yang hendak hinggap pada daging busuk “. Bila daging itu tidak engkau lindungi (ditutupi) bahkan dibiarkan membusuk, maka dengan senang hati lalat-pun akan berbondong–bondong untuk menghinggapinya tanpa ganti rugi alias gratis or free”. Na’udzubillahi min dzalik. Ada sebagian wanita yang merasa bahwa aturan islam itu justru membatasi gerak langkahnya dalam pergaulan. Yang lebih ekstrim lagi dia menganggap jika ia mematuhi peraturan islam secara menyeluruh, maka akan menjadi orang yang kuper.
Maka dari itu, jadilah wanita sholehah yang sejati. Terapkanlah apa yang menjadi syarat-syarat menjadi wanita muslimah yang sejati.Tidak banyak syarat yang dikenakan oleh Islam untuk seseorang wanita untuk menerima gelar sholehah, dan seterusnya menerima pahala syurga yang penuh kenikmatan dari Allah Subhanahuwata’ala.
Mereka hanya perlu memenuhi 2 syarat saja yaitu :
1.       Taat kepada Allah dan RasulNya.
2.     Taat kepada suami.
Berikut ini antara lain perincian dari dua syarat di atas :
1.Taat kepada Allah dan RasulNya
Bagaimana yang dikatakan dengan taat kepada Allah?
- Mencintai Allah Swt. dan Rasulullah Saw. melebihi dari segala-galanya.
- Wajib menutup aurat.
- Tidak berhias dan berperangai seperti wanita jahiliah.
- Tidak bermusafir atau bersama dengan lelaki dewasa kecuali ada bersamanya.
- Sering membantu lelaki dalam perkara kebenaran, kebajikan dan taqwa.
- Berbuat baik kepada ibu & bapa.
- Senantiasa bersedekah baik dalam keadaan susah ataupun senang.
- Tidak berhalwat dengan lelaki dewasa yang bukan mahrom.
- Bersikap baik terhadap tetangga.
2.       Taat kepada suami
- Memelihara kewajiban terhadap suami.
- Senantiasa menyenangkan suami.
- Menjaga kehormatan diri dan harta suaminya selama suami tidak di rumah.
- Tidak cemberut di hadapan suami.
- Tidak menolak ajakan suami untuk tidur.
- Tidak keluar tanpa izin suami.
- Tidak meninggikan suara melebihi suara suami.
- Tidak membantah suaminya dalam kebenaran.
- Tidak menerima tamu yang dibenci suaminya.
- Senantiasa memelihara diri, kebersihan fisik & kecantikannya serta rumah tangga.
Maka dari itu, jangan sampai menjadi wanita sholehah yang hanya di KTP saja. Jadilah sosok wanita yang menjadi idaman para lelaki yang nantinya akan menjadi penghuni surga yakni menjadi bidadari surga.

Kiai Bisri dan Strategi Kiai Wahab

Meski sama-sama pemegang fiqih yang ketat, Kyai Wahab dan Kyai Bisyri berbeda strategi dalam  penerapannya. Kyai Wahab cenderung bergaris lunak, sementara Kyai Bisyri bergaris keras.
Alkisah,Suatu hari menjelang Idul Adha ada seseorang yang datang menghadap Kyai Bisyri,katakanlah Maz Syukmo ( Bukan nama asli )mas syukmo bermaksud melaksanakan qurban dengan menyembelih seekor sapi. Namun sebelum berqurban,mas syukmo berkonsultasi dulu dengan Kyai Bisyri, “ Yai,,,,,,apakah boleh berqurban seekor sapi untuk 8 orang? ( Tanya Mas Syukmo ). Padahal menurut ketentuan fiqih, 1 ekor sapi itu untuk 7 orang. Sementara itu jumlah keluarga mas syukmo ada delapan orang,dan dia ingin di akhirat nanti satu keluarga itu bisa berkumpul satu kendaraan agar tidak terpencar.
Mendengar pertanyaan tersebut Kyai Bisyri langsung saja menjawab waaaah,,,,tidak bisa itu,,,qurban Sapi, Kerbau atau Unta itu hanya berlaku untuk 7 orang saja ”. Mendengar jawaban tersebut mas syukmo-pun menawar pada Kyai Bisyri, “Pak Kyai,,, apakah tidak ada keringanan,anak saya yang terakhir kan baru berusia 3 bulan”. ( sambil agak ngeyel ) maklum orang awam. Kyai bisyri-pun juga tidak mau ngalah,dengan menjelaskan dasar hukumnya, Kyai Bisyri tetap menjawab, tidak bisa.
Merasa tidak puas dengan jawaban tersebut, mas syukmo kemudian mengadukan persoalannya kepada Kyai Wahab di Tambak Beras. Mendengar persoalan yang diadukan mas syukmo, Kyai Wahab dengan ringan menjawab, “ Bisa,,,, Sapi itu bisa digunakan untuk 8 orang, Cumaaaaan,,,, karena anakmu yang terakhir itu masih kecil, maka perlu ada tambahan sebagai bancikan.” Mendengar jawaban Kyai Wahab mas syumo tampak gembira.
( kyai wahab melanjutkan jawabannya )“ Agar anakmu yang masih kecil itu bisa naik ke punggung Sapi, anakmu perlu bancik sebagai tangga. Sampeyan harus menyediakan seekor Kambing agar anak sampeyan bisa naik ke punggung sapi itu.”
Mas syukmo memotong pembicaraan, “Aaaah,,,, kalau cuma seekor Kambing saja saya sanggup menambah yai, Jangan kan satu ekor dua ekor pun saya juga sanggup yai, yang penting kita bisa bersama-sama, Kyai.” ( dengan perasaan lega )
Akhirnya pada hari qurban, orang tersebut menyerahkan seekor Sapi dan seekor Kambing pada Kyai Wahab.

Pandang tentang islam

Problem modernisasi yang di alami umat  islam sekarang munurut smit ( seperti biasanya pandangan ) adalah dalam mengatasi antara upaya mempetahankan islam sebagaimana yang diyakini kebenarannya dengan realitas kehidupan yang dialaminya yang menuntut penyesuaian dan perubahan selama ini.umumnya umat islam beranggapan bahwa agama islam telah menyediakan segala sepe’ kehidupan dengan cara memecahkan problema ,sehigga tatanan komuitas islam dipolakan dalam ssatu macam saja .sistim social umat islam juga beraneka ragam ras, bahasa dan ekologinya diusahakan seragam dimana mana dan kappa saja denga referensi baku yang sudah disusun oleh pembawa – pembawa islam dimasa lalu. Dan hasil produk kecermelangan para mujtahiddi yang terdahulu.
Menurut smith untuk mempertahankan kejayaan masa lalu islam dengan pandangan yang begitu akan sulit sedang disisi lain sekarang timbul dengan pesat  keinginan dan kesadaran untuk maju mengembalikan kejayaan islamdan menempatkan islam dalam posisi terhormat dalam pentas peradaban modern.
Dalam mencari jawaban yang dilematis  ini,maka dilihat adanya empat pola pemikiran yang mempengaruhi gerakan modern islam pada masa sekarang yaitu :
Ø  Pertama : pola pemikiran liberalis yang mencoba membuka sekeras-kerasnya pemikiran dalam rangka mengharapkan islam didalam kehidupan social kontemporer.tanpa ada kerikuhan menggusur tatanan lama yang sudah mapan. Dan humanis merupakan pemecahan pemecahan yang perlu untuk dilakukan.
Ø  Kedua : pola pemikiran nasional yang ingin mempribumikan  islam dengan suatu asumsi bahwa islam rohmatan lil alamin itu dapat diterapan dalam nasionalitas yang berbeda beda tanpa harus  menggusur kebudayaan setempat yang tidak bertentangan dengan prinsip prinsip dan aqidah dan syari’ah islam secara definitive.
Ø  Ketiga  : Pola pemikiran yang ingin mempertahankan islam dalam kebenaran yang normative islam paron2 yang sudah baku dan setiap penyimpangan paron2 tersebut merupaka penyelewengan yang harus diakhiri. Fundamentalisme banyak menggunakan menggunakan pada pemikiran apologetic ini dalam kadar yang berbeda-beda.
Ø  Keempat : pola pemikiran yang dinamis yang ingin membuat pijakan yang islam dengan pemahaman yang benar tentang islam dan kerataan yang tinggi dalam spiritual namun dalam masalah – masalah cultural mampu melakukan daya adaptasi yang tinggi puriranisme dinamisme ini sekarang banyak berpengaruh dikalangan intelektual muda islam.
Smith membagi islam dalam 3 kategori : 1. Islam klasik yang berakhir sampai jatuhnya Baghdad. 2. Islam medium yang berakhir sampai dengan jatuhnya kesultanan ottoman ( daulat ustmaniyyah ) turki. 3. Islam modern / kontemporer ialah islam yang berorientasi kepada peradaban barat.

THOHAROH

bersuci adalah bagian terpenting dari kehidupan seorang muslim. Bersuci sangat berkaitan erat dengan sah atau tidaknya ibadah yang kita lakukan. Sholat misalnya, sebelum mengerjakan sholat kita diwajibkan berwudhu terlebih dahulu. Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Kesucian itu penutup iman”. (HR. Muslim).
Secara hukum, bersuci adalah wajib, berdasarkan al-Qur’an dan hadits, sebagaimana dalam QS. al-Muddattsir (74) : 4, al-Baqarah (2) : 222.
MACAM-MACAM THOHAROH
A. Istinja’
Istinja` (استنجاء) mengikuti kata (wazan) masdar استفعل , yang diambil dari lafazh نجوت الشىء yang berarti memutus kotoran.
Istinja’ dalam segi bahasa diartikan sebagai usaha menghilangkan kotoran. Sedangkan menurut istilah, istinja’ adalah menghilangkan sesuatu yang keluar dari lubang dubur (anus) dan qubul dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan atau batu yang suci serta benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu. Akan tetapi, istinja’ yang dilakukan dengan menggunakan air lebih utama dari pada menggunakan batu (benda yang kasar).
·         Istinja’ dengan menggunakan air
Air adalah alat bersuci yang paling utama, karena lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran dibandingkan dengan lainnya. Berkaitan dengan orang-orang yang bersuci dengan menggunakan air, Alloh Ta’ala menurunkan firman-Nya:
 “Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut untuk kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. at-Taubah :108)
Abu Hurairah Ra. berkata, “Mereka (orang-orang yang shalat di Quba`) beristinja’ dengan menggunakan air, kemudian turunlah ayat ini di tengah-tengah mereka.” (HR. Abu Dawud)
·         Istinja’ dengan menggunakan batu
Istinja’ dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang menempati kedudukannya -yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dubur (anus) dan qubul-diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Salman al-Farisi Ra. berkata: “Rasulullah Saw. melarang kami beristinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang.” (HR. Muslim)
Pengkhususan larangan pada benda-benda tersebut menunjukkan bahwasanya Rasulullah Saw. memperbolehkan istinja’ dengan menggunakan batu dan benda-benda lain yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dubur dan qubul. Kapankah seseorang dikatakan suci ketika menggunakan batu dan sebagainya? Seseorang dikatakan suci apabila najis dan basahnya tempat yang disebabkan najis telah hilang serta batu terakhir atau yang lainnya ketika selesai digunakan masih tetap dalam keadaan suci, dalam arti tidak ada bekas najis padanya.
Beristinja’ dengan menggunakan batu dan sejenisnya tidaklah mencukupi kecuali dengan menggunakan tiga batu atau lebih. Salman al-Farisi Ra. berkata: “Rasulullah Saw. melarang kami beristinja’ dengan menggunakan tangan kanan atau kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim).

SYARAT, RUKUN DAN ADAB DALAM BERISTINJA’
v  Syarat-syarat istinja’:
1.     Menggunakan 3 (tiga) batu yang suci.
2.     Najis belum kering.
3.     Najis tidak pindah dari tempatnya.
4.     Najis tidak sedang datang atau tidak kedatangan najis yang lain.
5.     Najis tidak melewati hasyafah dan dua (2) pantat.
6.     Najis tidak terkena air.
7.     Tempatnya bersih dari hal-hal lain.

v  Rukun-rukun istinja’:
1.  Orang yang beristinja’.
2.  Adanya najis.
3.  Barang yang disucikan.
4.  Sesuatu yang dibuat untuk bersuci.

v  Adab dalam beristinja’:
1.     Buang air kecil maupun besar tidak boleh di dalam air yang diam (tidak mengalir). Jika hal itu terjadi maka hukumnya makruh.
2.     Tidak boleh buang air di bawah pohon, entah itu berbuah ataupun tidak.
3.     Tidak  boleh buang air di jalan raya yang dibuat lewat.
4.     Tidak boleh buang air pada tempat berteduh di  waktu musim kemarau atau penghujan.
5.     Tidak buang air pada lobang tanah.
6.     Tidak boleh bicara selama tidak dhorurat (terpaksa).
7.     Tidak boleh membelakangi dan menghadap matahari atau bulan.

TAHLILAN

Oleh: Ust. Sobirin
A. PENGERTIAN TAHLILAN
Secara lughah tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca kalimah thayibah "Laailaaha illallah.” ( tiada tuhan selain Allah SWT ).  Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. dikarenakan bacaan tahlil lebih dominan dari yang lain, maka kata tahlil terpilih menjadi nama rangkaian bacaan tersebut.
B. HUKUM TAHLILAN
Tahlilan sudah menjadi tradisi masyarakat nahdhiyin dan biasanya di gelar pada waktu kematian seseorang sampai hari ketujuh, empat puluh, seratus, dan hari ke seribu yang akrab disebut dengan istilah nyewu.setelah itu tahlilan dilaklukan secara periodik setiap tahun pada tanggal dan bulan kematian. Istilah ini dikenal dengan istilah haul yang berasal dari kata الحول (setahun). Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya. Tahlilan diselenggarakan dengan tujuan mengirim bacaan-bacaan yang dibaca dan mendoakan agar amal orang yang ditahlili diterima dan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT.
Amalan pembacaan tahlil atau Al-Qur’an yang dijadikan hadiah bagi mereka yang telah meninggal, pada hakekatnya merupakan suatu do’a atau istighfar yang dipanjatkan bagi arwahnya sebagaimana dapat diketahui dalam acara tahlilan. Maka, tahlilan diakhiri dengan do’a yang isinya memohon kepada Allah SWT. Agar pahala dari bacaan yang telah dibaca dihadiahkan kepada rohnya serta memohon ampunan baginya.
Dalam surat Al Hasyr ayat 10: di katakan “Dan mereka yang datang sesudah mereka selalu berdo’a “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”
Nash ayat ini memberikan pengertian  bahwa do’a atau istighfar yang ditujukan bagi arwah yang telah meninggal akan sampai.
Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdo’a untuk mayit.Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lainnya akan lebih bermanfaat bagi si mayit.Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.Dalam satu hadits riwayat Imam Baihaqi dijelaskan, mayit dalam kuburan sangat mengharap do'a dari orang-orang yang mengasihinya. Beliau menyebutkan
"dari Abdullah bin Abbas ia berkata; Nabi SAW bersabda; "tidaklah mayit dalam kuburan melainkan seperti orang tenggelam yang mengharap pertolongan. Ia menanti doa yang sampai padanya dari ayah, ibu, saudara ataupun temannya.ketika sampai, doa itu lebih ia cintai dari dunia seisinya. Sungguh Allah 'azza wajalla memasukkan doa penduduk bumi sebesar gunung-gunung kepada penghuni kubur dan sungguh hadiah orang-orang hidup kepada orang mati adalah permohonan ampunan bagi mereka." (HR. Baihaqi)
 Dengan bertendensi dalil-dalil diatas bisa disimpulkan bahwa Penyelenggaraan tahlilan yang berisi rangkaian bacaan al-Qur'an, dzikir dan doa hukumnya boleh dengan mempertimbangkan hukum asal bacaan-bacaan tersebut adalah sunnah. Pengkhususan pada hari-hari tertentu tidak bisa menjadikan pembacaan tahlil keluar dari syari’at. Hal ini berarti bahwa amalan amalan orang hidup yang dihadiahkan kepada mereka yang telah meninggal dapat sampai. Juga menunjukkan pula bahwa orang yang hidup dapat memberi manfaat bagi mayit. Manfaat yang sangat besar, baik pengampunan dosa ataupun pahala.  
Diberdayakan oleh Blogger.