Syaikh Nawawi al-Bantani
Bernama lengkap
Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi.
Sejak kecil ia telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang
ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-hari menjadi
penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal
di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama
besar Purwakarta, Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang
saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi,
setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut
ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada
ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil
Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh
Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan
Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari
ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke
tanah air. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan
ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah
Belanda. Akhirnya, kembalilah ia ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya
mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram.
Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas udzur menjadi Imam, Nawawi ditunjuk
menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan
panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam, ia juga mengajar dan
menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari
berbagai belahan dunia. Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga
12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di
antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H.
Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang.
Sejak 15 tahun
sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku sehingga tidak
memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam
melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak, 34
karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books
karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut
karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu,
seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara
buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) adalah Tafsir Marah
Labid, ats-Tsimar al-Yaniah fi ar-Riyadh al-Badi`ah, Nurazh Sullam, al-Futuhat
al-Madaniyah, Tafsir al-Munir, Tanqih al-Qoul, Fath al-Majid, Sullam Munajah,
Nihayah az-Zein, Salalim al-Fudhala, Bidayah al-Hidayah, al-Ibriz al-Daani,
Bugyah al-Awwam, Futuh as-Samad, dan al-Aqdu as-Tsamin. Sebagian karyanya
tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah.
Dalam bidang
syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti
Islam, al-Qur`an dan al-Hadist, selain juga ijma’ dan qiyas.
Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Madzhab Syafi’iyyah, yakni Imam
Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu
ajaran), Syekh Nawawi berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad)
muthlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi
keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib
bertaklid kepada salah satu keempat imam madzhab tersebut. Pandangannya ini
mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad
tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal madzhab
fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun,
umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan
seperti Syekh Nawawi sl-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya)
diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi
al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran
kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M serta dimakamkan di Ma`la.
0 komentar:
Posting Komentar