Oleh : Ust. Syahid
Perlu kami jelaskan kembali bahwa
tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri.
Disebutkan dalam firman Allah SWT:
يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
"Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, " (al-Maidah:35).
Pengertian tawassul sebagaimana
yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada
Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik
kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat
kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara do’a untuk menuju
Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.
Banyak sekali cara untuk berdoa
agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa
di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan
shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah
salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah
SWT.
Dengan demikian, tawasul adalah
alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.
Para
ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal
sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an.
Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits shohih
yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang
pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang
tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu
menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang
ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat
terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT
memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.
Adapun
yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul
tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh
dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika
seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu
Muhammad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat
mengenai masalah ini.
Pendapat mayoritas ulama mengatakan
boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji
secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan
lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada
dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga
masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini
berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:
عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا
قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ
إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا
نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ.
أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137
“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin
Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas
bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul
dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul
dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR.
Bukhori).
Imam Syaukani mengatakan bahwa
tawassul kepada Nabi Muhammad saw ataupun kepada yang lain (orang sholeh), baik
pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para
sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati
atau yang hidup, tetapi berperantara kepada kesholihan seseorang, atau
kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia,
tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba
yang sholih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT,
karena ketaqwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau
mereka dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang
dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan
tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya
kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia
berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa
memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena
yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT
semata.
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara,(seperti ketika kita sakit kita pergi kedokter,minum obat, jamaah haji berebut menyentuh / memegang hajar aswad,dsb) baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara,(seperti ketika kita sakit kita pergi kedokter,minum obat, jamaah haji berebut menyentuh / memegang hajar aswad,dsb) baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.